Rangkuman Teori-Teori Sosial
Rangkuman Teori-Teori Sosial
1.
Teori
Struktural Konsensus
Dalam menguraikan aturan-aturan yang
mengatur pikiran dan kelakuan dalam suatu masyarakat, maka para sosiolog yang
menganut teori konsensus menggunakan istilah kebudayaan. Menurut Teori
Konsensus bahwa aturan-aturan kebudayaan suatu masyarakat atau struktur
menentukan perilaku anggotanya menyalurkan tindakan-tindakan mereka dengan
cara-cara tertentu yang mungkin berbeda dari masyarakat yang lain. Hanya dengan
mempelajari aturan-aturan kebudayaan suatu masyarakat manusia dapat
berinteraksi dengan manusia lain. Teori Struktural Konsensus ini diibaratkan
sebagai suatu “konstruksi bangunan”.
Sebagai contoh perilaku siswa di sekolah yang akan memiliki pola perilaku yang
lebih teratur seperti keluar atau masuk kelas melalui pintu bukan jendela, naik
turun tangga, dsb. Individu akan
berperilaku sama dalam latar sosial yang sama karena dibatasi oleh aturan-aturan kebuayaan yang sama.
berperilaku sama dalam latar sosial yang sama karena dibatasi oleh aturan-aturan kebuayaan yang sama.
Posisi-posisi dalam suatu struktur sosial
disebut sebagai “peranan”. Aturan-aturan
yang menstrukturkan perilaku orang-orang yang menempati posisi disebut “norma”. Sedangkan “nilai” adalah ringkasan dari cara-cara hidup yang sudah disepakati
bersama, dan bertindak sebagai basis yang dari basis ini norma-norma tertentu
berlaku. Menurut cara pandang dari Teori Struktural Konsensus, sosialisasi
menjai norma dan nilai-nilai yang menghasilkan kesepakatan atau “konsensus” di antara orang-orang
mengenai perilaku dan keyakinan yang sesuai tanpa kedua hal ini masyarakat
tidak dapat hidup.
Teori struktural konsensus juga menganalisis
ketidaksetaraan pendidikan. Kesimpulan yang dapat diambil bahwa anak-anak
kalangan kelas menengah dimana kedua orangtuanya mengetahui bagaimana
pendidikan berlangsung dan bagaimana pencapaiannya, maka anak-anak ini secara
terus menerus di dorong dan di bantu untuk mencapai potensi akademik yang
tinggi. Sedangkan untuk anak-anak dari latar belakang pekerja dimana orang tua
mereka hanya memiliki pengalaman pendidikan yang terbatas sehingga anak-anak
mereka diajarkan untuk tidak menghargai pencapaian pendidikan, lebih senang
cepat bekerja, meninggalkan bangku sekolah untuk ikut terjun dalam lapangan
kerja rendahan.
Menurut Teori Konsensus, nilai-nilai inti
merupakan penyangga struktur sosial yang dibangun dan dipelihara melalui proses
sosialisasi. Perilaku sosial dan struktur sosial ditentukan oleh kekuatan
budaya ekternal. Kehidupan sosial dimungkinkan karena adanya struktur sosial
yang menjadi bagian dari tatanan budaya. Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa Teori
Konsensus berbasis pada pentingnya pengaruh kebudayaan – apa yang kita pelajari
untuk diinginkan sebagai hasil dari sosialisasi. Manusia berperilaku sedemikian
karena mereka disosialisasikan ke dalam aturan-aturan kebudayaan. Hasilnya
adalah konsensus mengenai bagaimana berpikiran dan berperilaku, yang mewujud
dalam pola-pola dan keteraturan perilaku.
Jones,
P. 2010. Pengantar Teori-Teori Sosial.
Achmad Fedyani Saifuddin. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
2.
Teori
Struktural Konflik
Teori Struktural Konflik menjelaskan
bagaimana struktur memiliki konflik. Teori Struktural Konflik melihat bahwa
setiap struktur memiliki berbagai elemen yang berbeda. Elemen yang berbeda ini
memiliki motif, maksud, kepentingan, atau tujuan yang berbeda-beda. Perbedaan
ini memberikan sumbangan bagi terjadinya disintegrasi, konflik dan perpecahan. Menurut
Ralp Dahrendorf (1986: 197 – 198) dalam Damsar (2012) terdapat beberapa asumsi
dasar yang dimiliki oleh teori struktural konflik, antara lain :
a.
Setiap
Masyarakat dalam Setiap Hal Tunduk Pada Proses Perubahan; Perubahan Sosial
Terdapat Dimana-mana
Teori Struktural Konflik melihat
masyarakat pada proses perubahan. Hal ini terjadi karena elemen-elemen yang
berbeda sebagai pembentuk masyarakat (struktur sosial) mempunyai perbedaan pula
dalam motif, maksud, kepentingan, atau tujuan. Perbedaan yang ada ini
menyebabkan setiap elemen berusaha untuk mengusung motif atau tujuan yang
dipunyai menjadi motif atau tujuan dari struktur. Konsekuensi logis dari
keadaan ini adalah perubahan yang senantiasa diperjuangkan oleh setiap elemen
terhadap motif, maksud, kepentingan, atau tujuan diri.
Contoh : Anda sebagai pegawai negeri
sipil, Mpok Atun si tukang cuci keluarga, Bang Togar si penambal ban motor
Anda, Kang Asep si tukang loper koran Anda, Uda Buyung si penjual nasi, dan
Bang Abdi si penjual barang harian merupakan elemen dari struktur sosial yang
memiliki motif, maksud, kepentingan, atau tujuan yang berbeda dan dalam meraih
motif, maksud, kepentingan, atau tujuan yang dimiliki merupakan penggerak
terhadap perubahan dalam struktur sosial dimana mereka berada. Sepanjang mereka
terus berjuang untuk meraihnya maka sepanjang ini pula perubahan daam struktur
terus bergerak.
b.
Setiap
Masyarakat dalam Setiap Hal Memperlihatkan Pertikaian dan Konflik; Konflik Sosial
Terdapat Dimana-mana
Masih
dengan contoh diatas, perbedaan motif, maksud, kepentingan, atau tujuan antara
Anda, Mpok Atun, Bang Togar, Kang Asep, Uda Buyung, dan Bang Adi merupakan
sumber penyebab terjadinya konflik antar elemen dalam struktur dimana mereka
berada. Pertikaian dan konflik akan tetap ada sepanjang mereka memiliki motif,
maksud, kepentingan, atau tujuan yang tidak sama. Namun seperti diingatkan
diatas, ketidaksamaan motif, maksud, kepentingan, atau tujuan ialah realitas
kehidupan sosial.
c.
Setiap
Elemen dalam Suatu Masyarakat Menyumbang Disintegrasi dan Perubahan
Elemen
yang membentuk struktur mempunyai sumbangan terhadap terjadinya disintegrasi
dan perubahan dalam struktur ini. masih dengan contoh yang sama, karena adanya
perbedaan motif, maksud, kepentingan, atau tujuan antara Anda, Mpok Atun, Bang
Togar, Kang Asep, Uda Buyung, dan Bang Abdi maka dimungkinkan terjadinya
perpecahan dan konflik antar mereka. Pertikaian dan konflik sesama mereka akan
menghasilkan disintegrasi dan perubahan dalam masyarakat. Dengan demikian
mereka memiliki sumbangan terjadinya disintegrasi dan perubahan dalam masyarakat.
d.
Setiap
Masyarakat Didasarkan Pada Paksaan dari Beberapa Anggotanya Atas Orang Lain
Keteraturan,
keharmonisan, atau kenormalan yang terlihat dalam masyarakat dipandang oleh
teoritisi konflik sebagai suatu hasil paksaan dari sebagian angotanya terhadap
sebagian anggota yang lainnya. Sebagai contoh, keteraturan, keharmonisan, dan
kenormalan di suatu provinsi berasal dari paksaan aturan perundangan yang ada.
Aturan perundangan ini dibuat oleh sebagian dari anggota masyarakat yang
memilii kewenangan untuk merumuskan, memutuskan, dan menetapkan suatu aturan perundangan
seperti top eksekutif dan anggota legislative. Dalam kenyataannya, belum tentu
semua anggota legislatif setuju dengan semua isi suatu aturan perundangan.
Demikian pula rakyat belum tentu setuju. Oleh karena aturan perundangan
tersebut sudah ditetapkan dan berlaku maka dengan terpaksa semua rakyat, tanpa
terkecuali, harus patuh.
Damsar.
2012. Pengantar Sosiologi Pendidikan.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
3.
Teori
Tindakan
Teori tindakan menekankan pentingnya
kebutuhan untuk memusatkan perhatian pada kehidupan sosial tingkat mikro, cara individu berinteraksi satu sama
lain dalam kondisi hubungan sosial secara individual, bukan tingkat makro
yakni cara seluruh struktur masyarakat memengaruhi perilaku indvidu. Masyarakat
adalah hasil akhir dari interaksi manusia, bukan penyebab. Hanya dengan
mengkaji bagaimana manusia dapat berinteraksi dapatlah kita memahami bagaimana
keteraturan sosial diciptakan. Tindakan yang dilakukan oleh manusia adalah
sukarela (voluntary). Tindakan adalah produk dari suatu
keputusan untuk bertindak sebagai hasil dari pikiran. Hampir semua tindakan
manusia adalah tindakan yang disengaja.
Kita mewujudkan tindakan tertentu dalam rangka mencapai tujuan yang
dikehendaki. Teori tindakan menekankan bahwa kita memutuskan apa yang kita
lakukan sesuai dengan interpretasi
kita mengenai dunia di sekeliling. Menggunakan teori tindakan untuk kepentingan
ini berarti kita memilih apa yang dilakukan sesuai dengan “definisi situasi yang bersangkutan”.
Sebagai contoh, Anda bangun tidur pada
suatu pagi musim panas menemukan cuaca cerah tidak berawan. Anda memutuskan
untuk berjemur di bawah sinar matahari, dan berencana memotong rumput pada sore
hari ketika udara sudah agak dingin. Menjelang siang Anda menyaksikan awan
mulai berarak di langit. Karena Anda pikir mungkin badai bakalan datang, Anda
memutuskan untuk memotong rumput lebih awal. Anda kepanasan. Ternyata hujan
tidak turun. Pada sore hari Anda pergi berjalan-jalan di desa. Anda singgah di
kedai sebentar untuk minum. Ketika Anda sedang duduk-duduk di luar kedai, Anda
melihat kepulan asap di balik bukit. Semakin lama Anda saksikan asap semakin
tebal. Anda pikir asap itu tak lagi terkendali. Bergegas Anda masuk kedalam
kedai untuk menelepon petugas pemadam kebakaran. Tak lama kemudian mobil
pemadam kebakaran datang menuju lokasi kebakaran. Anda mendaki bukit agar dapat
menyaksikan lokasi kebakaran itu lebih jelas. Saat itulah Anda mengetahui bahwa
asap itu datangnya dari instalasi pembakaran yang terdapat di tengah kebun
sebuah rumah yang tak dapat Anda saksikan dari kedai. Segera setelah itu
petugas pemadam kebakaran meninggalkan lokasi tersebut kembali ke markas
mereka. Anda kembali ke kedai untuk menghabiskan minuman Anda. Ternyata minuman
itu sudah diambil pelayan yang membersihkan meja di situ. Kebetulan Anda tidak
lagi punya uang untuk membeli minuman. Anda memutuskan pulang saja.
Sebagian besar situasi yang harus kita
definisikan untuk memilih bagaimana bertindak adalah “sosial”. Situasi-situasi tersebut melibatkan manusia-manusia lain
yang melakukan sesutau. Anda melihat seseorang berbadan besar mengacungkan
tinju kepada Anda seraya berteriak, dan ini menandakan bahwa ia tidak senang kepada
Anda yang menyetir mobil dekat sekali dibelakang mobilnya. Anda memutuskan
untuk menjauh dan tidak menghiraukan orang itu. Ini adalah “tindakan sosial”, yaitu tindakan yang kita pilih sesuai dengan
interpretasi kita mengenai kelakuan orang lain dalam konteks yang bersangkutan.
Jones,
P. 2010. Pengantar Teori-Teori Sosial.
Achmad Fedyani Saifuddin. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
4.
Teori
Interaksionisme Simbolik
Teori
Interaksionisme Simbolik memahami realitas sebagai suatu interaksi yang
dipenuhi berbagai simbol. Kenyataan merupakan interaksi interpersonal yang
menggunakan simbol-simbol. Menurut Turner (1978: 327-330) dalam
Damsar (2012) ada empat asumsi dari Teori
Interaksionisme Simbolik, yaitu :
a.
Manusia adalah Makhluk yang Mampu Menciptakan dan
Menggunakan Simbol
Dalam proses melakukan tindakan sosial terdapat proses
pemberian arti atau pemaknaan menghasilkan simbol. Ketika tindakan sosial
dilakukan oleh dua orang atau lebih, maka pada saat itu dua anak manusia atau
lebih sedang menggunakan atau menciptkan simbol. Sebagai contoh, dua orang anak
yang ada di ruang tamu bermain mengendarai mobil. Apa yang dimaknai sebagai
mobil adalah sofa di ruang tamu. Jadi, pada saat mereka bermain, mereka
menciptakan simbol. Pada saat yang sama mereka juga menggunakan simbol mobil,
misalnya melalui mulut mereka dikeluarkan bunyi suara mobil sedang melaju
kencang.
Perbedaan antara anak kecil dengan orang dewasa
terletak pada tingkat kerumitan atau kesederhanaan penciptaan dan penggunaan
simbol. Dalam dunia orang dewasa, penciptaan dan penggunaan simbol, berkaitan
banyak aspek lain kehidupan seperti aspek kekuasaan, spiritualitas, dan
ekonomi. Sebagai contoh, sarung dalam dunia orang dewasa bisa dimaknai dengan
berbagai macam cara. Sarung dapat diinterpretasikan sebagai simbol kekolotan,
keterbelakangan, atau ketradisionalan. Tetapi juga dapat dimaknai sebagai
simbol kesederhanaan atau kereligiusan.
b.
Manusia Menggunakan Simbol untuk Saling Berkomunikasi
Sesuatu yang telah diberi nilai atau makna disebut
dengan simbol. Melalui simbol ini manusia saling berkomunikasi. Kembali pada
contoh diatas, pemaknaan sofa di ruang tamu sebagai simbol mobil. Pada saat
bermain, termasuk bermain mobil-mobilan oleh anak-anak diatas, mereka perlu
saling berkomunikasi. Bermain tidak akan dapat berlangsung atau terjadi jika
tidak terjadi saling berkomunikasi. Oleh sebab itu, anak-anak menggunakan sofa
sebagai simbol mobil agar mereka dapat saling berkomunikasi untuk bisa saling
bermain. Sebuah komunikasi akan berjalan lancar, apabila pihak yang terlibat
komunikasi menggunakan simbol yang dapat dipahami secara bersama. biasanya
simbol yang dapat dipahami bersama-sama adalah bahasa pengantar yang dipakai
dimana saja seperti bahasa nasional atau bahasa internasional.
c.
Manusia Berkomunikasi Melalui Pengambilan Peran (Role Taking)
Pengambilan peran (role
taking) merupakan proses pengambilan peran yang mengacu pada bagaimana kita
melihat situasi sosial dari sisi orang lain dimana dari dia kita akan
memperoleh respons. Sebagai contoh, seseorang mengambil peran polisi maka orang
tersebut akan berusaha menempatkan diri dalam kerangka berpikir polisi atau
melihat situasi atau perilaku seseorang seperti yang dilakukan oleh polisi.
Atau contoh lain, Anda mengambil peran gubernur, berarti Anda berupaya
memosisikan diri dalam perspektif berpikir gubernur, atau melihat situasi atau
perilaku seseorang seperti yang dilakukan oleh gubernur.
d.
Masyarakat Terbentuk, Bertahan, dan Berubah
Berdasarkan Kemampuan Manusia untuk Berpikir, Mendefinisikan, Melakukan
Refleksi Diri, dan Melakukan Evaluasi.
Masyarakat dibentuk, dipertahankan, dan diubah
berdasarkan kemampuan manusia yang dikembangkan melalui interaksi sosial.
Kemampuan manusia dalam berpikir, mendefinisikan, refleksi diri, dan evaluasi
berkembang melalui interaksi sosial. Jadi proses interaksi sosial sangat penting
dalam mengembangkan kemampuan manusia. Misalnya, lembaga perkawinan dibentuk,
dipertahankan, dan diubah melalui kemampuan aktor-aktor yang membentuknya dalam
berpikir, mendefinisikan, refleksi diri, dan evaluasi melalui interaksi sosial.
Damsar.
2012. Pengantar Sosiologi Pendidikan.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
1 comments:
terimakaih mbak
sangat bermanfaat
Post a Comment