December 14, 2015

December 14, 2015 - 1 comment

Rangkuman Teori-Teori Sosial

Rangkuman Teori-Teori Sosial

1.      Teori Struktural Konsensus
Dalam menguraikan aturan-aturan yang mengatur pikiran dan kelakuan dalam suatu masyarakat, maka para sosiolog yang menganut teori konsensus menggunakan istilah kebudayaan. Menurut Teori Konsensus bahwa aturan-aturan kebudayaan suatu masyarakat atau struktur menentukan perilaku anggotanya menyalurkan tindakan-tindakan mereka dengan cara-cara tertentu yang mungkin berbeda dari masyarakat yang lain. Hanya dengan mempelajari aturan-aturan kebudayaan suatu masyarakat manusia dapat berinteraksi dengan manusia lain. Teori Struktural Konsensus ini diibaratkan sebagai suatu “konstruksi bangunan”. Sebagai contoh perilaku siswa di sekolah yang akan memiliki pola perilaku yang lebih teratur seperti keluar atau masuk kelas melalui pintu bukan jendela, naik turun tangga, dsb. Individu akan
berperilaku sama dalam latar sosial yang sama karena dibatasi oleh aturan-aturan kebuayaan yang sama.
Posisi-posisi dalam suatu struktur sosial disebut sebagai “peranan”. Aturan-aturan yang menstrukturkan perilaku orang-orang yang menempati posisi disebut “norma”. Sedangkan “nilai” adalah ringkasan dari cara-cara hidup yang sudah disepakati bersama, dan bertindak sebagai basis yang dari basis ini norma-norma tertentu berlaku. Menurut cara pandang dari Teori Struktural Konsensus, sosialisasi menjai norma dan nilai-nilai yang menghasilkan kesepakatan atau “konsensus” di antara orang-orang mengenai perilaku dan keyakinan yang sesuai tanpa kedua hal ini masyarakat tidak dapat hidup.
Teori struktural konsensus juga menganalisis ketidaksetaraan pendidikan. Kesimpulan yang dapat diambil bahwa anak-anak kalangan kelas menengah dimana kedua orangtuanya mengetahui bagaimana pendidikan berlangsung dan bagaimana pencapaiannya, maka anak-anak ini secara terus menerus di dorong dan di bantu untuk mencapai potensi akademik yang tinggi. Sedangkan untuk anak-anak dari latar belakang pekerja dimana orang tua mereka hanya memiliki pengalaman pendidikan yang terbatas sehingga anak-anak mereka diajarkan untuk tidak menghargai pencapaian pendidikan, lebih senang cepat bekerja, meninggalkan bangku sekolah untuk ikut terjun dalam lapangan kerja rendahan.
Menurut Teori Konsensus, nilai-nilai inti merupakan penyangga struktur sosial yang dibangun dan dipelihara melalui proses sosialisasi. Perilaku sosial dan struktur sosial ditentukan oleh kekuatan budaya ekternal. Kehidupan sosial dimungkinkan karena adanya struktur sosial yang menjadi bagian dari tatanan budaya. Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa Teori Konsensus berbasis pada pentingnya pengaruh kebudayaan – apa yang kita pelajari untuk diinginkan sebagai hasil dari sosialisasi. Manusia berperilaku sedemikian karena mereka disosialisasikan ke dalam aturan-aturan kebudayaan. Hasilnya adalah konsensus mengenai bagaimana berpikiran dan berperilaku, yang mewujud dalam pola-pola dan keteraturan perilaku. 

Jones, P. 2010. Pengantar Teori-Teori Sosial. Achmad Fedyani Saifuddin. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

2.      Teori Struktural Konflik
Teori Struktural Konflik menjelaskan bagaimana struktur memiliki konflik. Teori Struktural Konflik melihat bahwa setiap struktur memiliki berbagai elemen yang berbeda. Elemen yang berbeda ini memiliki motif, maksud, kepentingan, atau tujuan yang berbeda-beda. Perbedaan ini memberikan sumbangan bagi terjadinya disintegrasi, konflik dan perpecahan. Menurut Ralp Dahrendorf (1986: 197 – 198) dalam Damsar (2012) terdapat beberapa asumsi dasar yang dimiliki oleh teori struktural konflik, antara lain :
a.      Setiap Masyarakat dalam Setiap Hal Tunduk Pada Proses Perubahan; Perubahan Sosial Terdapat Dimana-mana
Teori Struktural Konflik melihat masyarakat pada proses perubahan. Hal ini terjadi karena elemen-elemen yang berbeda sebagai pembentuk masyarakat (struktur sosial) mempunyai perbedaan pula dalam motif, maksud, kepentingan, atau tujuan. Perbedaan yang ada ini menyebabkan setiap elemen berusaha untuk mengusung motif atau tujuan yang dipunyai menjadi motif atau tujuan dari struktur. Konsekuensi logis dari keadaan ini adalah perubahan yang senantiasa diperjuangkan oleh setiap elemen terhadap motif, maksud, kepentingan, atau tujuan diri.
Contoh : Anda sebagai pegawai negeri sipil, Mpok Atun si tukang cuci keluarga, Bang Togar si penambal ban motor Anda, Kang Asep si tukang loper koran Anda, Uda Buyung si penjual nasi, dan Bang Abdi si penjual barang harian merupakan elemen dari struktur sosial yang memiliki motif, maksud, kepentingan, atau tujuan yang berbeda dan dalam meraih motif, maksud, kepentingan, atau tujuan yang dimiliki merupakan penggerak terhadap perubahan dalam struktur sosial dimana mereka berada. Sepanjang mereka terus berjuang untuk meraihnya maka sepanjang ini pula perubahan daam struktur terus bergerak.
b.      Setiap Masyarakat dalam Setiap Hal Memperlihatkan Pertikaian dan Konflik; Konflik Sosial Terdapat Dimana-mana
Masih dengan contoh diatas, perbedaan motif, maksud, kepentingan, atau tujuan antara Anda, Mpok Atun, Bang Togar, Kang Asep, Uda Buyung, dan Bang Adi merupakan sumber penyebab terjadinya konflik antar elemen dalam struktur dimana mereka berada. Pertikaian dan konflik akan tetap ada sepanjang mereka memiliki motif, maksud, kepentingan, atau tujuan yang tidak sama. Namun seperti diingatkan diatas, ketidaksamaan motif, maksud, kepentingan, atau tujuan ialah realitas kehidupan sosial.
c.       Setiap Elemen dalam Suatu Masyarakat Menyumbang Disintegrasi dan Perubahan
Elemen yang membentuk struktur mempunyai sumbangan terhadap terjadinya disintegrasi dan perubahan dalam struktur ini. masih dengan contoh yang sama, karena adanya perbedaan motif, maksud, kepentingan, atau tujuan antara Anda, Mpok Atun, Bang Togar, Kang Asep, Uda Buyung, dan Bang Abdi maka dimungkinkan terjadinya perpecahan dan konflik antar mereka. Pertikaian dan konflik sesama mereka akan menghasilkan disintegrasi dan perubahan dalam masyarakat. Dengan demikian mereka memiliki sumbangan terjadinya disintegrasi dan perubahan dalam masyarakat.
d.      Setiap Masyarakat Didasarkan Pada Paksaan dari Beberapa Anggotanya Atas Orang Lain
Keteraturan, keharmonisan, atau kenormalan yang terlihat dalam masyarakat dipandang oleh teoritisi konflik sebagai suatu hasil paksaan dari sebagian angotanya terhadap sebagian anggota yang lainnya. Sebagai contoh, keteraturan, keharmonisan, dan kenormalan di suatu provinsi berasal dari paksaan aturan perundangan yang ada. Aturan perundangan ini dibuat oleh sebagian dari anggota masyarakat yang memilii kewenangan untuk merumuskan, memutuskan, dan menetapkan suatu aturan perundangan seperti top eksekutif dan anggota legislative. Dalam kenyataannya, belum tentu semua anggota legislatif setuju dengan semua isi suatu aturan perundangan. Demikian pula rakyat belum tentu setuju. Oleh karena aturan perundangan tersebut sudah ditetapkan dan berlaku maka dengan terpaksa semua rakyat, tanpa terkecuali, harus patuh.

Damsar. 2012. Pengantar Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

3.      Teori Tindakan
Teori tindakan menekankan pentingnya kebutuhan untuk memusatkan perhatian pada kehidupan sosial tingkat mikro, cara individu berinteraksi satu sama lain dalam kondisi hubungan sosial secara individual, bukan tingkat makro yakni cara seluruh struktur masyarakat memengaruhi perilaku indvidu. Masyarakat adalah hasil akhir dari interaksi manusia, bukan penyebab. Hanya dengan mengkaji bagaimana manusia dapat berinteraksi dapatlah kita memahami bagaimana keteraturan sosial diciptakan. Tindakan yang dilakukan oleh manusia adalah sukarela (voluntary). Tindakan adalah produk dari suatu keputusan untuk bertindak sebagai hasil dari pikiran. Hampir semua tindakan manusia adalah tindakan yang disengaja. Kita mewujudkan tindakan tertentu dalam rangka mencapai tujuan yang dikehendaki. Teori tindakan menekankan bahwa kita memutuskan apa yang kita lakukan sesuai dengan interpretasi kita mengenai dunia di sekeliling. Menggunakan teori tindakan untuk kepentingan ini berarti kita memilih apa yang dilakukan sesuai dengan “definisi situasi yang bersangkutan”.
Sebagai contoh, Anda bangun tidur pada suatu pagi musim panas menemukan cuaca cerah tidak berawan. Anda memutuskan untuk berjemur di bawah sinar matahari, dan berencana memotong rumput pada sore hari ketika udara sudah agak dingin. Menjelang siang Anda menyaksikan awan mulai berarak di langit. Karena Anda pikir mungkin badai bakalan datang, Anda memutuskan untuk memotong rumput lebih awal. Anda kepanasan. Ternyata hujan tidak turun. Pada sore hari Anda pergi berjalan-jalan di desa. Anda singgah di kedai sebentar untuk minum. Ketika Anda sedang duduk-duduk di luar kedai, Anda melihat kepulan asap di balik bukit. Semakin lama Anda saksikan asap semakin tebal. Anda pikir asap itu tak lagi terkendali. Bergegas Anda masuk kedalam kedai untuk menelepon petugas pemadam kebakaran. Tak lama kemudian mobil pemadam kebakaran datang menuju lokasi kebakaran. Anda mendaki bukit agar dapat menyaksikan lokasi kebakaran itu lebih jelas. Saat itulah Anda mengetahui bahwa asap itu datangnya dari instalasi pembakaran yang terdapat di tengah kebun sebuah rumah yang tak dapat Anda saksikan dari kedai. Segera setelah itu petugas pemadam kebakaran meninggalkan lokasi tersebut kembali ke markas mereka. Anda kembali ke kedai untuk menghabiskan minuman Anda. Ternyata minuman itu sudah diambil pelayan yang membersihkan meja di situ. Kebetulan Anda tidak lagi punya uang untuk membeli minuman. Anda memutuskan pulang saja.
Sebagian besar situasi yang harus kita definisikan untuk memilih bagaimana bertindak adalah “sosial”. Situasi-situasi tersebut melibatkan manusia-manusia lain yang melakukan sesutau. Anda melihat seseorang berbadan besar mengacungkan tinju kepada Anda seraya berteriak, dan ini menandakan bahwa ia tidak senang kepada Anda yang menyetir mobil dekat sekali dibelakang mobilnya. Anda memutuskan untuk menjauh dan tidak menghiraukan orang itu. Ini adalah “tindakan sosial”, yaitu tindakan yang kita pilih sesuai dengan interpretasi kita mengenai kelakuan orang lain dalam konteks yang bersangkutan.

Jones, P. 2010. Pengantar Teori-Teori Sosial. Achmad Fedyani Saifuddin. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

4.      Teori Interaksionisme Simbolik
Teori Interaksionisme Simbolik memahami realitas sebagai suatu interaksi yang dipenuhi berbagai simbol. Kenyataan merupakan interaksi interpersonal yang menggunakan simbol-simbol. Menurut Turner (1978: 327-330) dalam Damsar (2012) ada empat asumsi dari Teori Interaksionisme Simbolik, yaitu :
a.      Manusia adalah Makhluk yang Mampu Menciptakan dan Menggunakan Simbol
Dalam proses melakukan tindakan sosial terdapat proses pemberian arti atau pemaknaan menghasilkan simbol. Ketika tindakan sosial dilakukan oleh dua orang atau lebih, maka pada saat itu dua anak manusia atau lebih sedang menggunakan atau menciptkan simbol. Sebagai contoh, dua orang anak yang ada di ruang tamu bermain mengendarai mobil. Apa yang dimaknai sebagai mobil adalah sofa di ruang tamu. Jadi, pada saat mereka bermain, mereka menciptakan simbol. Pada saat yang sama mereka juga menggunakan simbol mobil, misalnya melalui mulut mereka dikeluarkan bunyi suara mobil sedang melaju kencang.
Perbedaan antara anak kecil dengan orang dewasa terletak pada tingkat kerumitan atau kesederhanaan penciptaan dan penggunaan simbol. Dalam dunia orang dewasa, penciptaan dan penggunaan simbol, berkaitan banyak aspek lain kehidupan seperti aspek kekuasaan, spiritualitas, dan ekonomi. Sebagai contoh, sarung dalam dunia orang dewasa bisa dimaknai dengan berbagai macam cara. Sarung dapat diinterpretasikan sebagai simbol kekolotan, keterbelakangan, atau ketradisionalan. Tetapi juga dapat dimaknai sebagai simbol kesederhanaan atau kereligiusan.
b.      Manusia Menggunakan Simbol untuk Saling Berkomunikasi
Sesuatu yang telah diberi nilai atau makna disebut dengan simbol. Melalui simbol ini manusia saling berkomunikasi. Kembali pada contoh diatas, pemaknaan sofa di ruang tamu sebagai simbol mobil. Pada saat bermain, termasuk bermain mobil-mobilan oleh anak-anak diatas, mereka perlu saling berkomunikasi. Bermain tidak akan dapat berlangsung atau terjadi jika tidak terjadi saling berkomunikasi. Oleh sebab itu, anak-anak menggunakan sofa sebagai simbol mobil agar mereka dapat saling berkomunikasi untuk bisa saling bermain. Sebuah komunikasi akan berjalan lancar, apabila pihak yang terlibat komunikasi menggunakan simbol yang dapat dipahami secara bersama. biasanya simbol yang dapat dipahami bersama-sama adalah bahasa pengantar yang dipakai dimana saja seperti bahasa nasional atau bahasa internasional.
c.       Manusia Berkomunikasi Melalui Pengambilan Peran (Role Taking)
Pengambilan peran (role taking) merupakan proses pengambilan peran yang mengacu pada bagaimana kita melihat situasi sosial dari sisi orang lain dimana dari dia kita akan memperoleh respons. Sebagai contoh, seseorang mengambil peran polisi maka orang tersebut akan berusaha menempatkan diri dalam kerangka berpikir polisi atau melihat situasi atau perilaku seseorang seperti yang dilakukan oleh polisi. Atau contoh lain, Anda mengambil peran gubernur, berarti Anda berupaya memosisikan diri dalam perspektif berpikir gubernur, atau melihat situasi atau perilaku seseorang seperti yang dilakukan oleh gubernur.
d.      Masyarakat Terbentuk, Bertahan, dan Berubah Berdasarkan Kemampuan Manusia untuk Berpikir, Mendefinisikan, Melakukan Refleksi Diri, dan Melakukan Evaluasi.
Masyarakat dibentuk, dipertahankan, dan diubah berdasarkan kemampuan manusia yang dikembangkan melalui interaksi sosial. Kemampuan manusia dalam berpikir, mendefinisikan, refleksi diri, dan evaluasi berkembang melalui interaksi sosial. Jadi proses interaksi sosial sangat penting dalam mengembangkan kemampuan manusia. Misalnya, lembaga perkawinan dibentuk, dipertahankan, dan diubah melalui kemampuan aktor-aktor yang membentuknya dalam berpikir, mendefinisikan, refleksi diri, dan evaluasi melalui interaksi sosial.

Damsar. 2012. Pengantar Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.


1 comments:

terimakaih mbak
sangat bermanfaat

Post a Comment